Sengketa Eks PGSD: Kuasa Hukum Sebut Putusan MA Non-eksekutabel

  • Bagikan
Kuasa Hukum Kikila Adi Kusuma, Zion N. Tambunan, SH., MH., Ba

AKTAWONUA.COM, Kendari — Sengketa lahan Eks Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) atau Eks PGSD kembali memanas. Satu titik krusialnya: keabsahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 18 Tahun 1981 yang dipegang Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Sertifikat itu dipersoalkan karena dianggap telah “mati” dan tak lagi sah menjadi dasar eksekusi.

Kuasa Hukum Kikila Adi Kusuma, Zion N. Tambunan, SH., MH., Ba, menegaskan SHP tersebut tidak bisa serta-merta dijadikan bukti kepemilikan mutlak oleh Pemprov Sultra. Ia mengingatkan bahwa hak pakai dibatasi waktu dan peruntukan. Karena itu, meski objek sengketa disebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), ia menilai putusan tersebut non-eksekutabel.

Zion menjelaskan SHP No. 18 Tahun 1981 kini telah berusia 44 tahun. Sementara Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur hak pakai diberikan maksimal 25 tahun dan bisa diperpanjang 20 tahun. Hak pakai hanya dapat berlangsung tanpa batas waktu jika tanah digunakan terus-menerus sesuai peruntukan awalnya.

Ketentuan itu selaras dengan Pasal 41 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan hak pakai berlaku selama tanah digunakan untuk kepentingan yang ditetapkan.

Namun pada lahan Eks PGSD Wua-wua, peruntukan sebagai fasilitas pendidikan SPGN sudah lama tak berjalan di bawah Pemprov Sultra. Zion menambahkan, secara fisik lahan tersebut telah dikuasai Ahli Waris H. Ambo Dalle selama bertahun-tahun. Penguasaan itu diperkuat dengan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik atas Sebidang Tanah Nomor 593.21/75/KK/2013 tertanggal 4 Juni 2013, yang disahkan Lurah Kadia pada 7 Juni 2013.

Di sisi lain, Kantor Pertanahan Kota Kendari belum memberikan keterangan resmi—lisan maupun tertulis—mengenai keberlakuan SHP No. 18 Tahun 1981. Padahal Kementerian ATR/BPN melalui Surat Nomor AT.02/113-400.5/I/2023 tertanggal 26 Januari 2023 telah memerintahkan agar kantor pertanahan memberikan penjelasan tertulis tentang status sertifikat tersebut.

Zion menegaskan, sertifikat hak atas tanah dapat dibatalkan apabila ditemukan cacat administrasi, pelanggaran prosedur, ketidaksesuaian dokumen, atau pelanggaran aturan, termasuk Permendagri No. 5 Tahun 1973 yang menjadi dasar penerbitannya.

Ia menambahkan, data pemetaan di Kantor Pertanahan Kota Kendari bahkan tidak menunjukkan plotting pasti atas lokasi tanah SHP No. 18 Tahun 1981—kondisi yang menurutnya memperkuat ketidakpastian hukum serta potensi pembatalan sertifikat.

“Dengan tidak jelasnya lokasi, tidak sesuainya peruntukan, serta adanya potensi cacat administrasi, SHP No. 18 Tahun 1981 tidak memiliki dasar kuat untuk dieksekusi,” tegas Zion, Jumat 14 November 2025.

Ia menilai kondisi tersebut menjadi dasar objektif bahwa eksekusi tak bisa dilakukan sebelum status hukum SHP dinyatakan resmi oleh instansi pertanahan.

“BPN Kota Kendari harus segera mengambil sikap tegas terkait keberadaan SHP No. 18 Tahun 1981 milik Pemprov Sultra. Surat kami sejak 2016 tidak pernah dijawab secara tertulis, padahal BPN RI dan Kanwil sudah menegaskan agar BPN Kendari memberikan jawaban tertulis mengenai status objek yang masih menjadi polemik hingga hari ini,” ujar Zion.

Ia kembali mendesak agar BPN Kendari mengeluarkan keterangan resmi demi menghindari kesalahpahaman dan tindakan eksekusi yang tidak berdasar.

“Saatnya BPN Kendari berani memberikan keterangan tertulis mengenai keberadaan dan keberlakuan SHP No. 18 Tahun 1981, yang selalu dijadikan alas hak oleh Pemprov Sultra untuk memaksakan pengambilalihan tanah dari ahli waris Alm. H. Ambo Dalle,” tambahnya.

Sebagaimana diketahui, PN Kendari merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 3487 K/PDT/2022 tanggal 13 Oktober 2022 dalam proses eksekusi perkara antara Kikila Adi Kusuma dan Gubernur Sulawesi Tenggara. Namun Zion menilai putusan itu tidak dapat dieksekusi karena berbagai pertimbangan hukum yang ia paparkan.

“Olehnya itu, saya berharap Kepala PN Kelas IA Kendari yang baru menjabat lebih berhati-hati dalam menyikapi rencana eksekusi. Alas hak yang hendak dipaksakan untuk dieksekusi sudah tidak berlaku dan tidak aktif lagi,” tegas Zion. (**)

  • Bagikan