Opini
AKTAWONUA.COM – Konawe merupakan daerah mayoritas berpenduduk suku Tolaki. Daerah ini juga akan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu serentak pada 14 Februari 2024. Kepastian ini terungkap dalam hasil rapat Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, KPU RI , Bawaslu RI dan DKPP RI.
Penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan umum serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Anggota DPD RI dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024. Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024.
Euforia Pemilu serentak 2024 mendatang memantik berbagai kalangan ikut berpartisipasi mencalonkan diri. Di Konawe sendiri, sekalipun waktu pemilihan umum cukup lama, tetapi hamparan alat peraga politik seperti baliho dan pamflet para calon legislatif berhamburan di sepanjang ruas jalan Kota Unaaha.
Berbagai tagline yang terpampang di baliho dan pamflet para calon menjadi alat untuk menarik perhatian publik. Hal ini disebut sebagai “framing”.
Dalam buku yang berjudul Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika yang ditulis Faharuddin Faiz mengungkapkan bahwa teori framing membungkus sesuatu lebih dramatik, bukan apa yang engkau katakan, namun bagaimana engkau mengatakannya. Teori ini dipakai di dunia politik dan contoh riilnya tergambar di baliho dan pamflet para politikus yang tersebar di ruas jalan Kota Unaaha.
Tagline yang diungkapkan dalam rangkaian kosa kata indah merupakan upaya para calon berkomunikasi dengan pembaca yang pastinya untuk menarik simpati.
Apa yang tertulis di badan baliho yang dibumbui senyum manis para politikus seolah melegitimasi nilai yang menjadi ranah kepentingan publik. Idealnya, kepentingan publik dilegitimasi oleh mereka yang memang berkecimpung dalam perjuangan menegakan nilai-nilai tersebut. Dalam buku gerakan sosial yang ditulis Oman Sukmana mengungkapkan bahwa, hanya rakyat akar rumputlah yang paham akan sebuah nilai yang ia perjuangkan. Sebab mereka merasakan atas apa yang mereka alami sehingga merekalah sepantasnya yang berhak melegitimasi sebuah kepentingan.
“Mepowangu” Upaya Merekontruksi Jejak Leluhur Suku Tolaki, bukan Magnet Politik
Berbagai jargon caleg tersebar di berbagai baliho ruas jalan Kota Unaaha yang mayoritas penduduk etnik suku Tolaki. Mereka bahkan menjadikan simbol kebudayaan sebagai tameng promosi diri untuk meraup simpati masyarakat. Padahal jika di tilik perjalanan karier mereka, tidak satupun yang berasal dari pejuang kebudayaan.
Akhirnya perjuangan membumikan budaya suku Tolaki di tanahnya sendiri hanya sebuah jargon kata tanpa makna, hanya hiasan pemanis wibawa. Jargon yang dilukis dalam setiap bait narasi di badan baliho hanya sebuah insting kerumunan.
Dalam buku cacat logika yang ditulis Faharudidin Faiz mengungkapkan bahwa “konsep engkau seperti aku” merupakan cara mempengaruhi orang dengan menunjukan penampilan yang sesuai dengan ideologi kita.
Salah satu yang paling menonjol dipopulerkan oleh para caleg sebagai identitas diri untuk memberitahukan pada kerumunan massa pembaca bahwa ia merupakan keturunan seorang tokoh yang berpengaruh dalam sejarah budaya suku Tolaki sendiri yang kita sebut “poanakiaa”. Dijadiakan nama di belakang nama mereka yang bahasa populernya “pam”.
Masyarakat suku Tolaki sendiri tidak mengenal sistem pemakaian “pam” atau marga.
Tidak sedikit kalangan masyarakat suku Tolaki menambahkan nama belakang di nama mereka dengan nama para tokoh sejarah atau keturunan langsung dari tokoh tersebut. Padahal dalam sejarah budaya Tolaki, sistem seperti itu tidak dikenal.
Suku Tolaki lebih menenal sistem yang bernama “mepowanggu”.
Menurut Ketua Adat Masyarakat Wonua Ndinudu Meluhu, Ajemain Suruambo, mepowangu adalah upaya menunjukan silsilah keluarganya.
Dalam literatur Belanda memorue van overgave onderafdeling kendari tahun 1907-1949 yang diolah dalam buku Tolaki, sejarah, idenditas dan kebudayaan yang ditulis oleh Basrin Melamba terungkap bahwa dari susunan daftar nama-nama mokole (Raja) Konawe yang berjumlah 28 mokole, terdapat beberapa mokole yang namanya sama.
Seperti contoh Mokole Laisapa I yang menjadi Raja Konawe keempat dan Mokole Laisapa-II yang menjadi Raja Konawe kesembilan. Hal yang sama terjadi pada Mokole Lakidende I yang menjadi Raja Konawe ke-15 (lima belas) dan Mokole Lakidende II yang menjadi Raja Konawe ke- 23 yang bergelar Sangia Ngginoburu.
Jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Konawe, konsep “mepowangu” sudah dilakukan oleh para Mokole Kerajaan Padanguni. Contohnya Mokole Padanguni ke-2 yang bernama To Ramandalagi yang memimpin periode ke-5 Masehi, dan To Ramandalagi yang menjadi Mokole Padanguni ke-14 yang bergelar Totongani Wonua yang dikenal dengan suami Wekoila periode pemerintahan pada 10 Masehi.
“Mepowangu” merupakan upaya memberikan nama pada seseorang dengan menggunakan nama leluhurnya. Hal itu dilakukan oleh masyarakat adat suku Tolaki sejak zaman dahulu, yang telah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat adat suku Tolaki. Tetapi eksistensi “mepowangu” sendiri di kalangan masyarakat adat suku Tolaki telah dimodifikasi dan dijadikan marga atau pam yang diletakkan pada nama belakang itu sendiri. Padahal konsep pam yang diyakini oleh masyarakat Tolaki kebanyakan tidak memiliki akar sejarah.
Apakah ini kesalahan karena kita tidak membaca lebih bijak kearifan lokal kita yang masih banyak terbenam di dalam perut bumi sejarah atau hal itu dilakukan sebagai alasan untuk mendapat pengakuan oleh orang-orang dan menjadi magnet politik untuk menarik simpati?. (***)
