Pesuri Tolaki, Kearifan Lokal untuk Menentukan “Hari Baik”

  • Bagikan
Nasrun, S.Sos,penggiat budaya suku Tolaki

AKTAWONUA.COM, Konawe – Sebagian orang mungkin masih awam dengan istilah Pesuri Tolaki atau Pewula Wula. Warisan budaya ini sudah nyaris tak lagi ditemukan dalam kehidupan masyarakat Tolaki modern.

Pesuri Tolaki atau Pewula Wula merupakan salah satu kebiasaan masyarakat suku Tolaki kuno dalam menentukan waktu yang baik memulai suatu pekerjaan.

Suku Tolaki sendiri merupakan salah satu suku yang berada di daratan Sulawesi Tenggara (Sultra).

Pada umumnya Pesuri Tolaki atau Pewula Wula, hampir mirip dengan tafsiran primbon atau wariga.

Budayawan suku Tolaki, Ajemain Suruambo menyebut, Pesuri Tolaki atau Pewula Wula menjadi kebiasaan leluhur masyarakat Tolaki untuk menetapkan hari atau waktu yang tepat dalam memulai sebuah aktifitas dengan tujuan mendapatkan hasil yang memuaskan.

Dalam suku Tolaki, “Pesuri” artinya pedoman dalam hal bertani, pindah rumah, membuat rumah, berlayar, berburu, dan berperang serta digunakan untuk menentukan hari baik menggelar hajatan seperti perkawinan.

“Sementara “Pewula” adalah cara menghitung bulan berapa terbitnya, dalam hal ini biasa dikaitkan dengan ilmu nujum,” kata Ajemain Suruambo.

Seorang pemerhati budaya Tolaki, Nasrun mencoba membangkitkan kearifan lokal masyarakat Tolaki tersebut dengan mengonversikan ke dalam tarik Masehi.

Nasrun, S.Sos (51), warga Kelurahan Arombu, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, merupakan penggiat budaya suku Tolaki, yang sejak 2011 hingga saat ini berupaya memperkenalkan warisan budaya Tolaki tersebut dengan membuat kalender berisikan Pesuri Tolaki.

Alumnus Jurusan Ilmu Budaya Dasar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Halu Oleo Kendari ini menceritakan awal mula dirinya terinspirasi membuat kalender berisi Pesuri Tolaki.

Saat itu, ia hendak pindah rumah. Pihak keluarga pun menyarankannya untuk melihat waktu atau hari yang baik.

“Sejak itu, saya mencari orang tua (tokoh, red) yang bisa melihat hari dan waktu yang baik untuk pindah rumah. Setelah saya temukan, saya berpikir, sebaiknya panduan melihat waktu dan hari baik di dalam suku Tolaki bisa dihidupkan kembali,” kata Nasrun.

Terinspirasi dari hal tersebut, Nasrun mulai melakukan riset pada 2011. Ia pun keliling bertemu dengan beberapa para tetua dan tokoh adat Tolaki mulai dari Kolaka dan Konawe untuk mengetahui dan mencocokan sistem penghitungan penanggalan Tolaki.

“Setelah itu saya presentasikan ke kementerian,” akunya.

Kalender yang dikenalkan Nasrun sedikit berbeda dengan kalender pada umumnya.
Jika kalender pada umumnya, ada pasaran Jawa yang tertera di bawah angka penanggalan seperti Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Namun di kalender Tolaki, terdapat 15 penanggalan yang tercantum tepat di bawah angka. Ke-15 itu adalah Mataloso, Riolo, Matanggawe, Tombaranggawe, Merawesi, Mehauhau, Matatindo,Tombaratindo, Matande’Ue, Tombarande’ Ue, Toeno, Matalelenggia, Tombaraleleanggia, Molambu, Mata Omehe.

Sejak tahun 2011, Nasrun mencetak sejumlah kalender yang di dalamnya tertuang penanggalan Tolaki atau Pesuri Tolaki ( Pewula Wula). Pencetakan kalender itu menggunakan modal sendiri dan bantuan kerabat terdekat.

“Kalendernya sama dengan kalender pada umumnya. Hanya di bawah tanggal pada kalender Masehi, kita sesuaikan dengan waktu penghitungan kalender Pesuri Tolaki. Contohnya, bulan Maret yang dalam bahasa Tolaki disebut Wula Otolu. Terus di bawah angka penanggalan itu, kita ganti pasaran primbon menjadi Pesuri Tolaki yang maknanya dapat dilihat di bagian bawah lembaran kalender,” jelas Nasrun.

Ia berharap agar kearifan lokal ini terus dijaga. Olehnya itu, pemerintah daerah diminta untuk memfasilitasi pembuatan kalender agar bisa mencantumkan pasaran tanggal Wariga Tolaki ke dalam kalender tersebut sehingga masyarakat luar juga bisa mengetahui. (**)

  • Bagikan