Bendera Kerajaan Konawe “Tombi” Bakal Berkibar di Acara HUT ke-63 Konawe

  • Bagikan
Ajemain Suruambo (Berkopiah) Saat Memperlihatkan Wujud "Tombi" Bendera Kerajaan Konawe

AKTAWONUA.COM, Konawe – Puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 63 Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara akan digelar pada Jumat (3/3/2023). Warga Konawe akan dihibur dengan aksi parade terjun payung yang dilakukan oleh 12 personel Polri.

Yang istimewa dalam kegiatan itu, penerjun akan membawa sejumlah bendera dan mengibarkannya di langit Konawe, salah satunya adalah Tombi atau bendera Kerajaan Konawe.

Budayawan Tolaki sekaligus orang pertama yang memperkenalkan Tombi kepada masyarakat umum, Ajemain Suruambo,merasa bangga dan berterima kasih kepada Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa yang bersedia mengikutkan Tombi untuk dikibarkan pada HUT ke-63 Konawe tahun ini.

“Kami masyarakat adat Sultra, bangga dan berterima kasih kepada bapak bupati yang bersedia mengikutkan Tombi untuk dikibarkan pada momen berbahagia ini,” kata Ajemain Suruambo.

Ajemin mengatakan Tombi memiliki nama lengkap Tombi Tutuwi Motaha Kamokole Konawe yang bermakna panji atau bendera Kerajaan Konawe.Ajemain bercerita, Tombi atau bendera Kerajaan Konawe sudah ada di zaman pemerintahan Kerajaan Konawe sekitar tahun 1400-an, dan diwariskan secara turun temurun kepada seseorang bangsawan Tolaki yang menjabat sebagai panglima perang Kerajaan Konawe dalam istilah suku Tolaki disebut Anakia Ndamalaki.

Ajemain yang saat ini menjabat sebagai Lurah Meluhu menyebut, pewaris terakhir Tombi dipegang oleh seorang perempuan bernama Rundu keturunan Anakia Ndamalaki, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kampung Meluhu.

Eksistensi Tombi hilang di tengah masyarakat Tolaki ketika terjadi peristiwa DI/TII yang datang sekitar tahun 1958 di Meluhu. Waktu itu, seluruh pemukiman warga Meluhu dibakar dan disinyalir Tombi juga ikut terbakar.

Tombi Kembali Berkibar di Bumi Konawe

Tombi kembali diperkenalkan ke publik ketika Konawe diundang mengikuti festival keraton dan masyarakat adat di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Dalam kegiatan tersebut, setiap raja atau tokoh masyarakat adat diminta membawa bendera kerajaannya.

Ajemain dan beberapa tokoh budaya berinisiatif mengembalikan eksistensi Tombi ke tengah masyarakat. Namun upaya tersebut sempat diragukan keberhasilannya.

“Waktu itu banyak yang tidak paham dan bahkan banyak yang tidak setuju ketika saya mengusulkan agar Tombi kembali diperkenalkan,” ungkap Ajemain

Saat itu Ajemain bersama tokoh yang sepakat untuk memunculkan kembali Tombi, ditantang oleh sejumlah tokoh budaya Tolaki lainnya untuk mencari informasi akurat seperti apa perwujudan dari bendera Kerajaan Konawe tersebut .

“Saya pada waktu itu langsung mengatakan bahwa saya mengenal dua orang tua di Meluhu yang semasa hidupnya pernah menyaksikan perwujudan Tombi sebelum terjadi peristiwa pembakaran Meluhu,” akunya.

Saat ini, satu orang dari kedua saksi itu sudah meninggal, dan satunya kini berumur kurang lebih 90 tahun.

“Waktu itu mereka menjelaskan bahwa Tombi Tutuwi Motaha itu berukuran siombulo yaro” (Bahasa Tolaki). Kemudian saya mencari tahu tentang kata “Yaro” itu bahasa apa dan satuan ukuran apa. Ditemukan Yaro itu bahasa Arab bermakna satuan ukuran Yard dalam pengertian umum,” ungkapnya.

Pihaknya pun mengorek keterangan terkait seperti apa wujud dari Tombi tersebut. Lalu timnya saat itu membuat sketsa berdasarkan keterangan saksi , kemudian merefleksikan kembali meski tidak seperti ukuran aslinya namun wujudnya menyerupai.

“Tombi” Bendera Kerajaan Konawe

Ajemain menyebut setiap motif dan warna Tombi memiliki makna tertentu. “Tombi memiliki warna dasar putih. Dalam istilah Tolaki disebut Ate Pute Penao Mowila yang dalam bahasa Indonesia bermakna hati yang bersih. Kemudian simbol lingkaran di tengah berwarna merah bermakna Tutuwi Motaha (Penutup Matang) melambangkan keberanian putra-putri Tolaki di Kerajaan Konawe. Lalu warna kuning bermakna kejayaan, sedangkan warna hitam adalah kewibawaan, warna biru melambangkan ide dan gagasan atau cita- cita , hijau simbol alam Konawe, terakhir warna coklat itu melambangkan tanah atau bumi,” jelas pria yang akrab disapa Ama bagi sekelompok organisasi pemuda adat Tolaki itu. (***)

  • Bagikan